Skip to content

Akhlis's Blog

  • Home
  • About Akhlis
  • My Portfolio

Month: December 2019

Kemenangan Kebebasan Berekspresi di FFI 2019

Posted on December 10, 2019December 10, 2019 by admin

Panggung sudah redup. Sebagian besar hadirin sudah mulai meninggalkan ruangan studio Metro TV malam itu (Minggu, 8 Desember 2019).

Tetapi saya dan beberapa teman masih sibuk berfoto ria bersama duo pembawa acara Rory Asyari dan Melissa Karim yang ceriwis, jenaka dan menyenangkan.

Dan di bangku tengah, masih ada bintang malam itu: Muhammad Khan.

Pertama menyaksikan Khan secara langsung, ia ternyata memiliki tubuh yang sekecil dan sekurus saya. Kakinya kecil dan lincah. Bisa saya bayangkan betapa cekatannya kaki-kaki itu meloncat-loncat di panggung saat menari. Saat menerima piala, langkahnya juga tampak begitu ringan dan mulus. Dan siapa sangka ia piawai menyanyikan lagu India yang dibawakan oleh Shahrukh Khan sang idola! Saya sendiri kaget dengan nyanyiannya yang spontan di atas panggung malam itu begitu kelar menerima Piala Citra kategori Pemeran Utama Pria Terbaik.

Anak muda ini memiliki kerendahhatian yang mengagumkan karena meskipun sudah mendapatkan penghargaan, ia masih tetap mau kami sapa. Dan ia mau menatap kami yang ia belum kenal baik.

Yang lebih mencengangkan daripada penampilan langsung Muhammad Khan di malam penghargaan Piala Citra 2019 itu sebetulnya ialah kemenangan kebebasan berkarya dan berekspresi melalui media film.

Kenapa?

Karena sejatinya film garapan Garin Nugroho ini tidak begitu disambut positif oleh khalayak dalam negeri. Ada sebagian kelompok di sini yang kurang menyukai penayangan film “Kucumbu Tubuh Indahku” (Memories of My Body) ini karena dianggap erat berkaitan dengan tema LGBTQ+ yang sangat sensitif untuk dibahas di tanah air beberapa tahun terakhir ini.

Dan film ini memang sudah sejak awal memantik perdebatan soal LBTQ+ padahal menurut penari Rianto yang kisah hidupnya menjadi inspirasi film ini, sebetulnya film ini menggambarkan perjalanan tubuhnya sebagai seorang pemuda yang diangkat sebagai ‘gemblak’ (penari muda) oleh pria yang lebih tua yang mungkin bisa dianggap sebagai patron seni.

Kemenangan yang tak terbendung dari film ini terbukti dengan menyapu bersih 8 piala di FFI 2019.

Dan kemenangan yang terbesar dari film ini ialah menyuarakan keresahan kaum minoritas yang terimarjinalkan oleh kelompok mayoritas dan dominan yang tidak menyukai narasi-narasi yang tidak senada dengan kepentingan dan agenda politik mereka.

Di sini, perjalanan tubuh itu ternyata juga perjalanan yang sangat kompleks. Tubuh ternyata tidak cuma soal raga, tetapi juga soal norma, moralitas, kedewasaan sebuah masyarakat, dan sebagainya.

Saya sangat mengagumi keberanian Garin Nugroho dan krunya yang mengangkat tema ini sebagai materi film mereka di tengah kondisi masyarakat kita yang sedang dilanda ‘demam agama’ yang tidak habis-habis sejak Pilkada Jakarta Anies versus Ahok itu. (*/)

“Kim Ji-young, Born 1982”: Menganalisis Perjuangan Pria Feminis

Posted on December 10, 2019December 11, 2019 by admin

Pertama kali mendengar judul film ini dari teman kerja, rasanya saya kurang tertarik. Alasannya karena temanya sangat domestik. Film ini ditulis seorang penulis wanita dari Korea, dengan tema besar rumah tangga dan feminisme.

Saya juga apriori dengan aktor utamanya, Gong Yoo, yang dikenal sebagai ‘heartthrob‘ para penggemar Korean drama yang umumnya terdiri dari kaum Hawa. “Kalau bintangnya Gong Yoo, pasti nanti temanya juga ‘menye-menye’ dan membikin penonton cewek berhalusinasi sebagaimana yang dialami banyak orang setelah menikmati serial Goblin,” batin saya. Mungkin aktingnya bagus untuk di serial televisi, tetapi untuk di layar perak saya belum melihatnya beraksi dalam film genre seperti ini.

Yang tak kalah spesial menurut saya ialah fakta bahwa film ini dibuat berdasarkan sebuah novel karya Cho Nam-joo. Walaupun ditulis sebagai karya fiksi, isi dan temanya sangat relevan dan terasa sangat nyata karena bercerita mengenai problem keseharian seorang wanita Korea yang berusia pertengahan 30-an.

Dari apa yang saya baca di Wikipedia, dikatakan bahwa Cho memang menuliskan kisah Kim Ji-young ini dengan mengambil kehidupan pribadinya sebagai inspirasi. Katanya,”Hidup Kim Ji-young tak banyak berbeda dari hidup saya. Itulah kenapa saya bisa menulis novel ini dengan cepat tanpa banyak persiapan.”

Kemudian saya memutuskan untuk menilai sendiri setelah menyaksikannya akhir pekan lalu. Di situ saya bisa saksikan bahwa memang kualitas aktingnya bisa dikatakan berkualitas.

Di tulisan ini, saya ingin mengupas dari sudut pandang pria melalui si karakter Jung Dae-hyun yang diperankan Gong Yoo, bukan Kim Ji-young yang diperankan dengan ciamik oleh Jung Yu-mi.

Dae-hyun ini sebenarnya karakter pria yang lumayan feminis menurut saya. Ia memiliki keprihatinan pada kondisi yang diderita pasangannya. Misalnya, saat adegan awal film, Ji-young yang muak dengan saudari iparnya dan ibu mertuanya itu ‘meledak’ dan suaminya ini bukannya ikut meledak bersama keluarganya tetapi malah menenangkannya dan mengajaknya pulang segera, agar ia bisa istirahat.

Saat kondisi Ji-young memburuk dari hari ke hari, Dae-hyun dengan sabar menyarankan Ji-young untuk menemui psikolog meskipun Ji-young sendiri malah meremehkan kondisi kejiwaannya. Seperti kebanyakan penderita depresi, Ji-young tidak menyadari bahwa ia mesti mendapatkan pertolongan psikolog profesional.

Saat Ji-young mendapatkan tawaran kerja dari mantan atasannya yang baru saja membentuk sebuah perusahaan baru, Dae-hyun juga menunjukkan sikap suportif. Alih-alih memarahi istrinya yang ingin bekerja kembali, Dae-hyun malah mendukungnya dengan mengusulkan agar dirinya mengambil cuti sebagai seorang ayah (paternal leave). Lagi-lagi, patriarkisme menghantui. Ibu Dae-hyun murka begitu tahu Dae-hyun akan mengambil paternal leave dan ia menelepon menantunya dan tanpa basa-basi langsung menghujaninya dengan kata-kata pedas, menuduhnya ingin karier sang suami mandek begitu saja. Memang ada yang kurang beres dengan masyarakat soal paternal leave ini. Di satu sisi, cuti itu disediakan secara resmi oleh perusahaan bagi para ayah tetapi begitu mereka kembali ke kantor, justru karier mereka seakan dihambat. Dalam pembicaraan Dae-hyun dan teman-teman kerja prianya, ia mendengar kabar seorang rekan kerja yang promosinya ditunda dan kariernya kurang bersinar hanya gara-gara pernah mengambil paternal leave. Ada semacam kemunafikan dalam masyarakat, bahwa mereka mengetahui paternal leave itu baik, karena seorang ayah bisa jeda sejenak dari hiruk pikuk kantor untuk membantu dan mendukung baik istrinya yang sedang sibuk merawat anak yang baru lahir. Tetapi di sisi lain, masyaraka juga menuduh pria-pria pengambil paternal leave sebagai karyawan yang tidak profesional, kurang berdedikasi pada organisasi tempat mereka mengabdi, sehingga mereka dianggap pantas untuk disingkirkan atau setidaknya disisihkan dari prioritas.

Dae-hyun juga berharap untuk mendapatkan sokongan dari rekan-rekan kerjanya yang bergender pria tetapi ia tidak mendapatkannya. Bahkan untuk mengutarakan kegundahannya soal kondisi psikologis istrinya yang menurun, Dae-hyun harus menyembunyikan identitas, dengan mengatakan bahwa si orang yang dibicarakan ini adalah istri seorang teman, padahal itu adalah istrinya sendiri. Dan sedihnya, ia justru malah mendapati jawaban yang memojokkan istrinya, membuatnya geram dan menumpahkan kopi ke kemeja temannya.

Di sini, kita bisa lihat bahwa ada pria-pria yang sebenarnya bersimpati pada feminisme. Mereka paham bahwa patriarki itu perlu dibongkar, harus dikritisi, dan kalau perlu direvisi. Hanya saja, pria-pria ini hanya bisa berjuang sendirian, terkurung dan tersekat oleh dinding-dinding kokoh pemikiran patriarki yang tidak hanya merajai kaum mereka sendiri tetapi juga alam pemikiran ibu-ibu, nenek-nenek, saudara-saudara perempuan dan bibi-bibi mereka!

Sementara perhatian kita lebih tersedot pada konflik batin dan psikologis yang dialami Kim Ji-young sang protragonis, saya ingin mengajak kita semua memperhatikan juga perjuangan batin pria feminis seperti Dae-hyun ini. Karena sistem dukungan bagi pria-pria feminis yang ingin mengubah keadaan masyarakat yang patriarkis ini hampir tidak ada.

Hal ini sungguh lain jika kita bandingkan dengan sistem dukungan yang dimiliki oleh Kim Ji-young. Walaupun ayahnya tidak begitu memperhatikan dirinya, Ji-young memiliki ibu yang sangat mendukung dirinya untuk memiliki pekerjaan formal begitu lulus kuliah, berani mempertahankan pendapatnya di depan suami. Dan ia juga memiliki seorang kakak perempuan, seorang guru yang mandiri dan cerdas. Meskipun masih lajang di usianya yang matang, kakaknya berani membela dirinya saat didesak menikah oleh bibi-bibinya.

Sebagian pria memang ada yang lebih mirip dengan adik laki-laki Ji-young yang sebetulnya mencintai pada saudara-saudara perempuan mereka tetapi sudah dicemari sedemikian rupa oleh pola pikir patriarki sehingga mereka kurang bisa mengutarakan perhatian dan kasih sayang mereka kepada orang-orang yang mereka kasihi. (*/)

Cepat Makmur Tapi Hancur, Tanpa Tidur

Posted on December 2, 2019December 2, 2019 by admin

Hidup terdiri dari dua jenis waktu: waktu terjaga dan waktu tidur. Di zaman sekarang, saat listrik makin meluas penggunaannya sehingga teknologi juga makin banyak diadopsi manusia, makin terampas pula waktu tidur kita. Listrik mengantar umat manusia pada kenikmatan terang yang matahari mungkin hanya bisa berikan selama ini. Dan listrik juga memberikan berjuta peluang untuk manusia dalam menghibur diri mereka sendiri, mengisi waktu luang di malam hari yang seharusnya menjadi waktu istirahat.

Saya juga menjadi bagian dari miliaran manusia modern yang merasakan kenikmatan hiburan 24 jam sehari itu. Bahkan sekarang makin terbuka peluang untuk terus terjaga menikmati keindahan (dan kebobrokan) dunia ini. Dulu jika siaran TVRI usai jam 12 malam, saya bisa saja mendengarkan radio (siaran langsung wayang orang). Lalu sekarang muncullah kenikmatan bernama teknologi seluler yang membuat kita terkoneksi dengan dunia luar selama 24 jam lamanya. Kita terus menerus terhubung dengan dunia yang bahkan tidak berkaitan langsung dengan kehidupan kita. Ponsel yang mulanya menjadi penolong komunikasi, lambat laun dikeluhkan menjadi biang keladi banyak gangguan mental dan psikologis. Lha, kok menyalahkan teknologi? Bukankah yang membuat juga manusia? Begitulah dungunya kita.

Tidak terbersit dulu bahwa saya akan masuk dalam masyarakat yang sering saya saksikan di layar televisi. Masyarakat ibukota, yang dikenal modern dan pekerja keras. Selalu sibuk dan berdengung bak lebah pekerja yang tak kenal lelah. Mengumpulkan madu, untuk larva-larva di koloninya.

Lebah pekerja konon adalah simbol untuk kota Manchester semasa Revolusi Industri di Inggris abad ke-19 dulu. Di sinilah bermula revolusi yang mengubah peradaban kita. Menjadi lebih baik dalam sebagian aspek kehidupan dan menjadi hancur dalam sebagian lainnya, terutama lingkungan hidup.

Sebagai seekor lebah pekerja di ibukota, saya akui pengalaman yang saya dapatkan selama ini sungguh membuka cakrawala hidup saya. Dan perlahan-lahan saya juga paham bahwa saya mau tidak mau harus menggadaikan waktu hidup saya untuk kesuksesan karier ini.

Menyaksikan video di atas untuk pertama kalinya, saya terhenyak karena profesi saya (copywriter, penulis, pewarta, semua yang berkaitan dengan bidang menulis kreatif dan jurnalisme itu) termasuk dalam jenis profesi yang rentan dengan ketidakseimbangan hidup dan kerja ini. Kami bekerja siang malam, pagi dan dini hari pun, sampai kerja di hari libur alias tanggal merah pun dilakoni.

Semua demi apa? Gaji? Karier yang cemerlang? Kepuasan pemberi kerja? Kapitalisme?

Terus terang saya pun tidak bisa menjawab secara gamblang dan lugas. Karena semuanya pelik.

Sebagai pewarta daring, dulu saya sudah biasa kerja sampai malam hanya untuk meliput suatu acara penghargaan yang diikuti korporasi atau atasan. Lalu saya mesti menyaksikan sampai akhir, mengabadikan momen dan menyiarkan peristiwa membanggakan itu pada khalayak ramai.

Lalu saat bekerja sebagai penulis buku, saya kadang bekerja larut untuk menulis dan menyunting draft yang sudah dibuat.

Lalu saat menjadi copywriter di agensi, saya juga memang harus bekerja ekstra keras karena saya tidak hanya harus memuaskan atasan tapi juga membuat klien perusahaan kami puas. Tekanannya berlipat-lipat kalau mau dikatakan blak-blakan. Sebagai konsekuensinya, jam kerja copywriter di agensi-agensi biasanya lebih dan gila-gilaan. Kasus Mita Diran, seorang copywriter muda yang meninggal akibat kerja lembur tanpa henti selama 30 jam pada tahun 2013. Lalu publik ramai karena insiden meninggalnya Mita dan seakan lupa, tren itu tak kunjung pupus juga.

Apakah semua copywriter bekerja segila itu? Tentu tidak. Saya beruntung tidak sampai harus mengalami itu.

Meski saya akui beberapa orang di dekat saya juga gaya hidupnya sudah acak-acakan. Di agensi terutama, saya saksikan mereka merokok selama jam kerja, tak peduli gender. Mereka bangun pukul 11 siang dan baru ON jam 12 siang karena baru tidur dini hari atau setidaknya subuh. Kalong!

Satu orang bahkan membuat saya bergidik ngeri karena mengaku tak pernah minum air putih dan kebanyakan minum kopi instan yang membuat dirinya bisa terus bekerja kreatif sebagai desainer grafis.

Saya pulang jam 6 sore dan sudah menjadi bahan cibiran. Tapi saya sudah mulai bekerja pukul 8 pagi jadi saya merasa berhak untuk pulang lebih cepat juga. Dan akhirnya saya bisa bertahan cuma enam bulan. Saya merasa tidak kuat bertahan lama-lama. Bukan perkara mereka yang ada di sana. Selama saya kerja di sana, saya merasa baik-baik saja dan tidak ada masalah personal. Namun, saya memiliki masalah dengan pola kerja dan sistem yang ada karena pola kerja dan sistem saya berlainan.

Saya merasa tidak mungkin mengorbankan waktu tidur saya yang amat berharga.

Kenapa saya katakan “berharga” bahkan lebih berkarga di bandingkan kesuksesan karier saya?

Karena sesukses apapun karier saya, tanpa kesehatan yang prima, apalah artinya semua itu?

Dan karena saya hidup sendiri di sini, sakit adalah salah satu nestapa terbesar. Maka saya sangat amat menghindari kebiasaan-kebiasaan yang mencederai kesehatan saya sendiri. Salah satunya ialah pola tidur yang morat-marit. Saya sudah intens beryoga sehingga pola tidur sudah relatif terjaga dan akan terasa dampaknya begitu jam tidur saya terganggu. Keseimbangan hidup (wellbeing) saya juga terganggu.

Jangan beranggapan bahwa stres semacam ini cuma melanda kaum pekerja profesional saja. Di suatu pagi, saya sedang sibuk berolahraga dan seorang petugas keamanan mendatangi saya. Bukan karena saya melakukan hal yang tidak diperbolehkan aturan tetapi karena ia penasaran.

“Mas pelatih yoga ya?” tanya pria muda ini.

Saya jawab iya. Ia ingin tahu lebih banyak soal yoga dan ingin juga melakukannya.

“Gabung saja. Latihan bersama di sini,” ajak saya.

“Nggak bisa, mas. Saya kan kerja. Lagi jaga,” tolaknya sopan.

Saya menghela napas.

Lalu saya usulkan ia mengikuti kelas yoga komunitas agar setidaknya ia bisa mengetahui sedikit dan menerapkannya dalam keseharian.

Dan saya tekankan bahwa keikutsertaan dalam kelas yoga komunitas tidak membutuhkan dana banyak, lain dari keanggotaan di pusat kebugaran yang mahalnya tiada tara. Saya paham betul gaji yang mungkin ia terima, akan sangat sayang dihabiskan untuk berolahraga saja.

Namun, ia juga menolak karena jadwal kerjanya berua shift atau giliran jadi tidak tentu. Bahkan di akhir pekan juga ia bisa kena giliran jaga.

“Kalau harus jaga malam, ya besok paginya saya tidur. Pusing kalau harus olahraga,” ia memberi alasan.

Ah, jam tidur yang terampas juga bukan monopoli kaum profesional yang tampak perlente, bergaya, dan klimis. Mereka yang tampaknya bekerja secara fisik semata seperti sekuriti juga memiliki stresnya sendiri dan itu melibatkan jam tidur yang acak-acakan, kurang berolahraga, dan stres karena pekerjaan yang monoton.

“Capeknya kerja jadi sekuriti nih mas, bukan karena capek duduk dan mikir seperti sampeyan. Tapi karena kerjanya di situ-situ melulu. Bosan. Stres juga jadinya. Apalagi kalau rumahnya jauh, sudah capek di jalan. Saya saja naik motor tiap hari dari Depok.”

Uh, life is so hard for everyone here.

Tapi apakah hidup memang seharusnya sulit seperti ini bagi kami?

Saya tak bisa menjawabnya.

Bagaimana dengan Anda, apakah memang harus sesulit itu hidup ini? (*/)

Type keywords to find articles in this blog

Click to find my posts

December 2019
S M T W T F S
« Nov    
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
293031  

Subscribe to My Blog

Archives

Categories

Proudly powered by WordPress | Theme: MiniZen by Martin Stehle.