Ini kisah seorang gadun* yang tidak bermodal. Modalnya cuma engkel. Bahkan dengkul pun kurang. Kasihan ya?
Jadi awalnya gadun ini, sebut saja namanya Om Ponk, dihubungi temannya Nana yang seorang account executive di sebuah media cetak yang katanya berolah besar dan memiliki sirkulasi nasional.
Kata temannya begini:”Ponk, lo mau nggak ketemu ini anak?”
Disodorkanlah kepada Om Ponk layar ponsel Nana yang menunjukkan wajah seorang anak muda. Bukan Indo. Tapi raut mukanya lumayan ‘menjual’.
“Dia ini ‘kucing’ loh…” bocor Nana.
“Kamu bisa pakai dia buat sumber ide cerita. Kan kamu demen nulis cerpen kan? Kenapa nggak kamu tanya-tanya aja ini anak buat ide cerpen?”
Om Ponk sebetulnya bukan gadun profesional. Ia bekerja seperti kaum proletar di ibukota ini juga. Ia dari kota Tasikmalaya, mencoba mengadu untung di Jakarta sejak bertahun-tahun lalu melalui keterampilan menata dan merombak kata-kata.
Om Ponk mengangguk pada Nana. “Oke, lumayan juga. Coba aku kontak dia ya.”
Di Facebook, Om Ponk yang mukanya jauh dari kesan perlente yang khas dengan citra gadun borjuis Jakarta ini kemudian mencoba mengontak si ‘kucing’ cakep ini.
Gayung bersambut. Pesan pribadi via Facebook Messenger pun dibalas.
Singkat bacot, keduanya bertemu.
Kencan pertama, Om Ponk sudah merasa di’porotin’. ‘Kucing’ cakep ini minta ditraktir di restoran premium.
Om Ponk bukannya tidak punya uang. Tapi dia cuma bekerja sebagai wartawan di media nasional yang oplahnya makin surut gara-gara pemiliknya ikut-ikutan politik. Sekarang saja ia sudah dipecat secara halus. Korannya sudah tidak menerima iklan sebanyak dulu. Kebanyakan sekarang yang pasang iklan ialah pemerintah-pemerintah daerah dan kabupaten yang gila publisitas. Maunya diekspos setiap kegiatan yang dilakukan padahal tidak ada manfaat bagi publik juga. Sempat Om Ponk mengeluhkan bagaimana ia berang mendapatkan ‘banjir’ draft berita dari pemerintah sebuah daerah yang mau supaya kegiatan bupatinya yang sedang bersepeda santai saja untuk dimasukkan sebagai berita. Dan tiap hari paling sedikit sepuluh kabar terbaru dari tim humas bupati itu ‘menerornya’. Sungguh miris.
Om Ponk juga bukan tipe om-om yang banyak punya side job. Ia cuma bisa menulis artikel dalam bahasa Indonesia. Jadi susah baginya untuk mendapatkan sumber penghasilan yang bisa meluberi saldo rekeningnya. Terakhir ia berteriak di depan mesin ATM BCA saat menarik uang:”Saldo gua 600 ribu doangggg!!! Gimana bisa?!!”
Yah begitulah nasib seorang gadun proletar.
Om Ponk di pertemuan keduanya bersama si kucing brondong yang kita bisa sebut sebagai ‘Nino” karena menurut penuturan Om Ponk sendiri, wajah dan tipe bodi ‘kucing’ ini mirip dengan Nino Fernandez yang aktor keturunan asing itu. ‘Tapi dia lebih Indonesia.”
Di kencan keduanya, Nino membeberkan secara sekilas soal percintaannya dengan gadun-gadun lain. Ia mengklaim dirinya laris manis dan digemari seorang gadun pemilik restoran Jepang di kawasan elit Jaksel. Apakah itu benar? Hmm, siapa pun tidak bisa membuktikan keabsahannya.Bisa saja ia membual soal kelarisannya sebagai ‘kucing’ idaman om-om.
Om Ponk kemudian diajak Nino menuju ke sebuah mall modern di suatu sudut Jakarta. Tanpa dompet tebal dan rekening yang cuma ratusan ribu, Om Ponk memberanikan diri menemani Nino berkeliling mall.
“Om, itu jamnya bagus ya?” rayu Nino sembari menunjuk ke sebuah etelase di gerai jam mewah.
Om Ponk, menyadari bahwa dirinya papa. Keuangannya tidak mengizinkan. Ia teringat anak bungsunya di rumah yang terus-terusan menuntut dibelikan ponsel pintar teranyar.
“Mau hape pokoknya, pakkk!!” begitu teriaknya saban bapaknya pulang.
Ia tidak doyan makan. Ia tidak mau duit. Maunya cuma ponsel pintar supaya bisa dipamerkan ke teman-teman sebayanya yang sudah punya.
“Tapi kan kamu masih kelas 5. Nanti kalau SMA.” kilah Om Ponk sok bijak pada anak bungsunya yang tengil itu.
Menyambarlah istri Om Ponk,”Dik, makanya kamu banyak berdoa, supaya bapak dapat rezeki banyak. Bisa kasih kamu hape.”
“Halah, doa doa doa mulu! Doa itu MITOSSS!!!” sergah si anak bungsu laki-laki yang sudah pintar mendebat orang tuanya itu lantang.
Om Ponk tersenyum getir pada istrinya. Seperti suaminya, istrinya juga tidak kuasa menangkis manuver verbal si anak bungsu.
Jadi, bagaimana mungkin Om Ponk akan bisa begitu saja membelikan Nino jam tangan Rolex di Pacific Place dan melupakan rengekan anak tengilnya di rumah nun jauh di sana?
Trik Om Ponk agar bisa berkelit dari rayuan Nino si ‘kucing’ ini ialah berlagak tidak mendengar rayuannya. Ia pura-pura tidak mendengar rengekan Nino dan memilih untuk memalingkan muka, berakting tengah mencari barang lain di etalase toko sebelah.
Gemas, Nino cuma bisa melengos. Kecewa sangat!
Berniat untuk merencanakan kencan ketiga dengan Nino, Om Ponk menghubunginya lagi.
Nino merespon. Lalu berlanjut dengan permintaan yang berbau finansial.
“Om, minta transfer dong. Lagi butuh duit banget nih!” rajuk Nino yang kata Om Ponk bekerja sebagai staf humas di sebuah agen perjalanan kecil di Serpong.
Dasar gadun bokek dan proletar, tentu saja ia menolak meski dalam hati. Sampai sekarang ia tidak membalas pesan permintaan Nino, ‘kucing’nya.
Alhasil, Nino pun lepas dari cengkeraman.
‘Padahal rencananya aku mau gali lebih dalam itu cerita dia sebagai ‘kucing’, tapi modalnya kudu gede ternyata. Dasar ‘kucing’ Jakarta!” keluh Om Ponk. (*/)
* Kata “gadun” mengacu pada spesies laki-laki hidung belang tanpa memandang orientasi seksual.