Frase “OK Boomer” akhir-akhir ini saya dengar di media sosial. Meskipun gaungnya terasa di Instagram, sebetulnya ia pertama kali berdengung di jejaring sosial Tik Tok yang menurut saya sangat ‘alay’ (mungkin ini bias sebagai seorang senior millennial).
Sebuah unggahan di Tik Tok berisi sindiran seorang remaja yang geram dan menuangkan kegeramannya di selembar kertas setelah ia menyaksikan seorang baby boomer (orang yang seusia kakek neneknya mungkin) yang mengomel soal konyolnya idealisme anak-anak zaman sekarang. Seolah baby boomer ini tidak paham bahwa kondisi dunia yang di dalamnya anak-anak ini hidup sekarang suah jauh berbeda dengan dunia di mana ia hidup dahulu saat masih remaja.
Ah! Bukankah ini sesuatu yang familiar?
Beberapa generasi setelah baby boomers (mereka yang lahir pasca Perang Dunia II saat angka kelahiran meledak di seluruh penjuru dunia) yaitu:
- Generasi X: mereka yang lahir awal 1960-an sampai akhir 1970-an
- Generasi Y: mereka yang lahir tahun 1980-an dan 1990-an
- Generasi Z: mereka yang mencapai kedewasaan di dekade kedua abad 21 (lahir tahun 2000 dan setelahnya)
Ketiga generasi ini sudah sering menjadi sasaran omelan Baby Boomers yang merasa bahwa anak-anak, cucu-cucu, dan cici-cicit mereka ini bertingkah konyol dan tidak tahu berterima kasih dengan melakukan hal-hal yang menurut mereka di luar batas.
Masalahnya apakah ekspresi “OK boomers” ini sudah melewati batas dan bisa menyingung orang lain yang lebih tua atau dianggap kolot?
Pertama dan yang utama, ujaran tersebut sama sekali lain dengan panggilan “nigger” untuk orang kulit hitam, atau “jablay” untuk para perempuan yang dianggap genit dan over agresif terhadap pria, atau “china” bagi mereka yang berdarah keturunan.
Baby boomers bukan grup minoritas dan di sini juga tidak ada hierarki dan relasi kuasa yang kokoh.
“OK boomers” seolah-olah menjadi ekstraksi dari kekesalan terhadap generasi Baby Boomers yang memiliki stigma kolot, konservatif, berpikiran sempit, kurang progresif, dan membenci perubahan. Mereka adalah status quo yang bagi orang-orang muda di bawahnya harus disingkirkan karena menghambat perubahan yang diidambakan.
Namun, sebetulnya ungkapan itu ialah perlawan terhadap pola pikir yang sempit, menentang perubahan, alias konservatif. Jadi, tidak memandang usia. Mereka yang sudah seusia kakek nenek kita jika mereka masih terbuka pada perubahan pun tidak pantas untuk dijadikan target dari sindiran ini. Dan mereka yang muda secara kronologis tetapi memiliki pola pikir sempit dan tak menyukai perubahan bisa saja lebih tepat untuk menjadi sasaran sindiran tersebut.
Kalau menurut saya, sosok ideal untuk menggambarkan Baby Boomers ialah Donald Trump yang kita sudah ketahui sendiri kiprahnya di dunia. Trump ialah produk ‘flagship’ generasi Baby Boomers yang kolot dan anti perubahan, sangat patriarkis, temperamental, memiliki preferensi gaya yang aneh dan kerap tampil marah-marah akibat ‘ulah’ generasi muda. Ia membela kaum borjuis lebih sering daripada proletar, sehingga membuatnya sangat dibenci banyak orang yang mendambakan kesejahteraan yang lebih merata. Plus, ia juga sering menghina perempuan-perempuan, dan tidak malu dengan tindakannya itu. Dan Trump juga penjahat lingkungan karena malah mendukung langkah-langkah yang kontra lingkungan hidup. Sebut saja keluarnya AS dari Perjanjian Iklim Paris baru-baru ini dengan alasan kesepakatan untuk mengurangi emisi karbon itu hanya akan mengancam tumbuhnya angka lapangan kerja di dalam negeri. Sungguh egois bukan? Padahal AS adalah negara besar yang menghasilkan emisi karbon terbesar kedua di dunia.
Alexandra Ocasio-Cortez beberapa kali kena kritik Trump, padahal wanita muda yang seusia cucunya ini sangat kritis dan membela kepentingan rakyat sebagaimana diharapkan banyak orang. Ia bukan legislator yang suka ongkang-ongkanng dan tidur di barisan belakang saat ada rapat di majelis. Ia duduk di depan membela kepentingan rakyat AS dengan cara yang elegan, tidak berdemo dan merusak fasilitas umum di jalanan. Bagi saya, Ocasio-Cortez sangat cocok mengucapkan “OK boomers!” pada Trump, dan mungkin meludahi muka pria yang seksis itu.
Tidak cuma di AS, kemuakan dan perlawanan terhadap pola pikir Baby Boomers yang anti perubahan ini juga terlihat dari kasus penentangan pembatasan usia untuk cagub, cabup, dan calon walkot di UU Pilkada kita. Para politisi muda nan vokal di Partai Solidaritas Indonesia yang dikenal partai progresif dan lekat dengan kaum millennial yang berpikiran terbuka itu mencemaskan pembatasan tersebut akan mengurangi nilai demokrasi. Calon-calon pemimpin berpotensi dan berpikiran terbuka justru bisa disingkirkan dengan lebih mudah bahkan sebelum mereka bisa mengajukan pencalonan. Batasan yang diberlakukan ialah cagub mesti minimal berusia 30 tahun dan cabup/ cawalkot minimal 25 tahun. Di sinilah ageisme (diskriminasi berdasarkan stigma usia: bahwa yang muda otomatis dicap kurang kompeten sebab kurang berpengalaman) terjadi. Dan ini ulah legislator-legislator bermental baby boomers.(*/)