Skip to content

Akhlis's Blog

  • Home
  • About Akhlis
  • My Portfolio

Tag: sejarah gymnastics dan yoga

Hubungan Sejarah nan Pelik antara Yoga dan Gymnastics

Posted on November 26, 2019November 27, 2019 by admin
Yoga atau gymnastics sih ini? Baca dulu baru ngomong.

Sebenarnya sudah cukup lama saya tertarik dengan senam (gymnastics) tapi baru beberapa tahun ini bisa sedikit mencicipinya bersama pesenam artistik veteran Indonesia, Jonathan Sianturi. Sementara itu, sudah 9 tahun saya berlatih yoga asana.

Dan setelah menjajal keduanya, saya menemukan beberapa kesamaan. Persamaan yang utama ialah bahwa keduanya dominan menggunakan berat tubuh sendiri, bukan berat objek eksternal untuk menguatkan dan melenturkan tubuh tersebut sendiri. Persamaan lainnya ialah keduanya sangat patriarkis. Maksud saya, mereka yang dahulu melakukan yoga dan gymnastics ialah para pria saja. Kaum Hawa sama sekali tidak diperbolehkan hingga memasuki abad ke 20 saat masyarakat mulai mengenal gagasan emansipasi perempuan dan paham kesetaraan gender.

Banyak juga asana dalam yoga yang mirip dengan gerakan dan postur dalam gymnastics atau senam walaupun secara historis keduanya dianggap sangat berbeda. Yoga dari India, Timur. Gymnastics dari Yunani Kuno, Barat.

Namun, siapa sangka sebenarnya keduanya saling berkelindan dalam perjalanan sejarahnya?

Saya tergelitik untuk menuliskan ini karena membaca komentar seorang teman di Instagram tadi siang setelah saya mengumumkan bahwa saya akan membawakan kelas bertema “Gymnastics Yoga” untuk kelas komunitas. Inti dari komentarnya ialah bahwa dirinya merasa terintimidasi oleh judul tersebut. Daripada saya menghabiskan energi menjelaskan di kolom komentar Instagram yang terbatas, akhirnya saya pilih medium blog ini untuk menjelaskan panjang lebar sehingga tidak ada kesalahpahaman.

Di kelas saya nanti, saya akan membagikan sedikit praktik yang dinamakan oleh Johann Cristoph Friedrich Guts Muths (bapak gymnastics modern yang hidup antara 1759 hingga 1839) dari Jerman sebagai normal (utilitarian) gymnastics yang mengutamakan aspek kesehatan dan fungsi badan sehingga menunjang kegiatan sehari-hari (sehingga tubuh tetap bugar, tidak mudah lelah, berat badan terkontrol, sendi-sendi terjaga ruang geraknya, dan otot-otot terjaga kelenturan dan kekuatannya hingga usia senja). Jenis gymnastics ini berbeda dari artificial (non-utilitarian) gymnastics yang lebih mirip dengan senam artistik modern (modern artistic gymnastics) yang mempertontonkan ketrampilan fisik yang mengutamakan aspek akrobatik dan keindahan yang dalam kehidupan sehari-hari tidak begitu bermanfaat (misalnya saja handstand, apakah kita tiap hari berjalan dengan tangan? Tentu tidak).

Kembar Tapi Berbeda

Saya ingin mengatakan bahwa YOGA DAN GYMNASTICS itu SERUPA TETAPI TIDAK SAMA. Banyak dari kita yang belum sadar bahwa yoga modern yang berorientasi pada asana sebagaimana yang kita tekuni saat ini ialah hasil perpaduan yang rumit antara asana yoga, gymnastics yang diadopsi dari Barat, dan telah bercampur dengan banyak motif di baliknya.

Saya berkata begini bukan asal mengetik. Izinkan saya mengutip pemikiran Mark Singleton (seorang peneliti dan akademisi dari Inggris serta guru Iyengar Yoga dan Satyananda Yoga). Singleton sendiri tergerak melakukan penelitian soal sejarah yoga sebab ia terkejut menemukan foto-foto pose yang mirip dengan asana-asana yoga modern dalam sebuah buku yang berisi penjelasan sistem latihan fisik dinamis yang dibuat orang Denmark di awal abad ke-20 yang disebut mereka sebagai Primitive Gymnastics. Pose-pose yang akrab kita sebut sebagai Warrior Pose, Downward Dog, Utthita Padangusthasana, Headstand, Handstand, Supta Virasana, banyak ditemukan di dalam buku tersebut. Apakah ini cuma kebetulan? Bagaimana bisa? Apakah ada orang Denmark belajar ke India soal yoga asana juga?

Setelah meneliti banyak literatur, ia menemukan bahwa yoga modern yang saat ini populer di banyak belahan dunia sebetulnya perkembangan yang radikal dari tradisi Hatha Yoga.

Di masa lalu, tradisi Hatha Yoga berfokus pada pranayama, mudra, meditasi, mantra, serta asana) serta bertujuan untuk moksa atau pembebasan spiritual. Bahkan yoga yang pertama kali sampai dibawa Swami Vivekananda ke Amerika Serikat pada tahun 1893 sama sekali tidak memamerkan aspek asana yang meliuk-liuk dan menarik secara visual untuk menarik pengikut. Vivekananda bahkan mengabaikan asana dan memilih mengajarkan pranayama, meditasi, dan cara berpikir yang positif. Ajarannya diterima baik oleh kalangan terbatas yang terdiri dari orang-orang terpandang di Pantai Timur AS.

Kenapa Vivekananda tidak mengajarkan asana?

Karena masyarakat India sendiri pada saat itu (akhir abad ke19) memandang asana sebagai sesuatu yang hina dina. Ini persepsi yang berkembang dan bertahan dalam benak masyarakat India terutama yang berkasta tinggi. Mereka yang berkasta tinggi (seperti Vivekananda) memandang rendah asana karena asana-asana itu dilakukan oleh para fakir atau pelaku yoga yang hidup dengan terlunta-lunta bak gelandangan di jalanan. Mereka yang ahli berasana saat itu biasanya adalah orang-orang miskin dan berkasta rendah, yang menggunakan asana sebagai sarana untuk menarik perhatian orang agar mereka mau membayar sejumlah uang. Dengan uang ini, para fakir alias yogi-yogi proletar ini bisa bertahan hidup.

Namun, sejak awal abad ke 20 mulai terjadi perkembangan yoga sebagai praktik olah fisik (sehingga berorientasi pada asana) serta memfokuskan lebih banyak pada aspek kekuatan dan kelenturan ragawi.

Kenapa yoga mulai mengarah ke olahraga?

Menurut Singleton, hal itu terjadi bukan karena masyarakat India mulai menghapus stigma negatif pada kaum fakir yang piawai berasana dan berkasta rendah tadi.

Di awal abad ke-20 seperti kita tahu banyak bangsa-bangsa di Asia dan Afrika yang mulai berambisi menjadi merdeka termasuk India dan juga Indonesia. Zaman ini mereka juga mengalami pergolakan di dalam negeri karena sudah merasa tidak bisa menolerir penindasan yang tidak terperi dari kaum imperialisme Barat (baca: Inggris).

Nah, di sinilah yoga dimodifikasi sedemikian rupa untuk menyiapkan orang-orang India kala itu agar bugar dan sehat secara fisik supaya mampu berperang melawan Inggris yang sudah membuat bangsa mereka menderita berkepanjangan.

Di titik ini, praktik yoga asana mulai berkembang dan mendapatkan pengaruh dari luar demi memenuhi tujuan menyiapkan pemuda-pemuda India agar siap bertarung. India mulai mendapatkan pengaruh budaya fisik yang berasal dari Barat lalu meramunya dengan yoga yang sudah mereka miliki lalu mengemasnya dan menyajikannya sebagai yoga.

Beberapa guru yoga menyebarkan praktik yoga asana yang berorientasi fisik ini ke berbagai penjuru India. Di antaranya ialah Tiruka (alias Raghavendra Rao). Ia berkelana dan mengatakan pada publik bahwa ia mengajarkan yoga. Padahal, ia mengajarkan yoga yang sudah dimodifikasi untuk menguatkan fisik agar para pemuda siap tempur di medan laga merebut kemerdekaan. Alasan lain ia menggunakan yoga sebagai kedok ialah karena penjajah lebih permisif pada guru yoga yang saat itu lebih lekat dengan kesan sebagai orang suci nan relijius.

Dan ‘inovasi’ untuk memenuhi kebutuhan bangsa ini juga dilakukan oleh sosok-sosok guru yoga terkemuka saat itu seperti T. Krishnamacharya (1888-1989). Ditambah lagi dengan dukungan besar dari maharaja Mysore, Krishnarajendra Wodeyar, ia merancang bentuk baru praktik yoga asana yang lebih dinamis dan selaras dengan budaya fisiok yang berkembang di Barat. Sebagaimana kita ketahui, beliau inilah guru dari guru-guru besar dalam yoga modern seperti B.K.S. Iyengar, K. Pattabhi Jois, Indra Devi, and T.K.V. Desikachar. Kita tentu tahu betul siapa nama pertama dan kedua tadi. Mereka inilah yang menggagas Iyengar Yoga dan Ashtanga Vinyasa Yoga yang meraup popularitas begitu luas di seluruh penjuru dunia hingga detik ini. Singkat kata, pengaruh Krishnamacharya juga membentuk mereka untuk mengajarkan yoga yang lebih berorientasi asana.

Membaca tulisan Singleton mungkin akan membuat kita mulai mempertanyakan latihan yoga kita saat ini.

“Apakah benar yoga yang kita lakukan ini sungguh-sungguh ‘tradisional’, ‘otentik’ sebagaimana yang dilakukan yogi-yogi ribuan tahun lalu di kaki pegunungan Himalaya?”

Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi setelah itu.

Pertama, Anda akan mulai mencari-cari bukti apakah yoga yang Anda lakukan saat ini adalah sebenar-benarnya dan semurni-murninya yoga. Tapi yoga yang murni berdasarkan tradisi. Bukan yoga campur-campur, bukan ‘palsu’!

Atau Anda akan berlatih dengan pikiran yang lebih terbuka, lebih rela dalam melepaskan fanatisme sempit bahwa yoga sebagaimana hal-hal lain di dunia ini juga bisa berinteraksi dan berbaur lalu menjelma sebagai sesuatu yang baru, kaya serta rumit. Dan kemudian sadar bahwa batas-batas dalam semesta ini sering tidak bisa terlihat jelas layaknya patok-patok kavling rumah atau bangunan yang ditentukan berdasarkan kesepakatan tertulis di akta tanah. Batas-batas itu lebih kerap terlihat tegas dan jelas dalam benak kita karena kita manusia ini yang membentuknya.

Bagaimana dengan Anda sendiri? (*/)

 

REFERENSI

https://www.yogajournal.com/yoga-101/new-light-on-yoga

https://www.yogajournal.com/yoga-101/yoga-s-greater-truth

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Mark_Singleton_(yoga_scholar)

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Yoga_Body

https://www.britannica.com/sports/gymnastics

Type keywords to find articles in this blog

Click to find my posts

December 2019
S M T W T F S
« Nov    
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
293031  

Subscribe to My Blog

Archives

Categories

Proudly powered by WordPress | Theme: MiniZen by Martin Stehle.